Langsung ke konten utama

Di waktu yang lalu

Ketika siang berganti malam, mentari tak memberikan pantulan emasnya. Kala itu aku berjalan di sudut jalan kecil rumahku. Ia aku selalu melihatnya ketika dunia berisikan kehitaman. Ketika kecil aku menyukai berjalan sambil mendongakan kepala ke atas mencoba melihat bulan yang selalu mengikuti tapak kaki mungil ini. Ketika aku berlari lebih cepat rembulan masih mengikuti tepat beberapa meter di kepalaku. Sialnya aku benci seseorang yang mengikutiku. Entah ke kanan, kiri, juga tatasurya seperti mengikuti jejak langkah kaki. Ketika aku berhenti melangkah bulanpun lagi-lagi menirukanku tapi perbedaannya ia tak menatapku.

Sungguh ketika kecil lambat laun aku mengerti kenapa langit tak pernah bisa kugapai. Padahal ia di dekat sawah rumahku. Semakin aku berjalan lebih jauh langit pun terasa lebih jauh. Ah, aku bukanlah anak kecil yang mudah menyerah. Aku berlari-larian bersama beberapa anak seusiaku memburu langit karena aku ingin menyentuhnya alasan yang sangat klasik. Begitupun juga dengan mereka.

Sialnya, kami para pemburu langit sama sekali tak dapat menggapainya. Kami merasa kecewa seketika itu aku dan mereka tidak memburu langit esoknya karena kami beranggapan langit bukanlah di ujung sawah melainkan terletak di ujung atas sangat jauh.

Aku tak menyadari seseorang menegurku. Aku menatapnya kembali dengan wajah datar. Juga susu yang terseduh sudah dingin. Aku kembali ke dunia nyataku. Bersama orang-orang yang berada di sekitarku. Terimakasih kawan selalu setia menemaniku sepanjang waktu ini dan baru-baru ini. Teman lama maupun baru. Karena melihat waktu yang lalu seperti mencari memori lama yang masih tersimpan rapi dalam komponen otakku.




Cikarang, 13 November 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sudah

Mungkin saatnya Aku harus melupakan Racun jingga yang membuatku tergelak Pada dawai rindu Dia yang sekarang berbeda Membuat waktu terlewat sia-sia Memikirkannya Cukup Untuk ini saja Aku berhenti Berharap banyak Tapi Jika dia memang sudah di takdirkan Suatu saat nanti akan bersama Bersama dengannya Maaf Aku tak bisa memberi rangkaian Selain puisi ini Teruntuk kau di sana Wahai Bintang

Puisi : Jiwa yang Bangkit

Jiwa yang Bangkit  29 April 2016 Oleh : F N K Mentari bersinar menatapku  Tapak Kakiku terasa memburu Asa harapanku mengebu-gebu  Lihatlah angin memberikan balutan rindu Ku tatap langit indah menghiasi ruangan hati  Sesaat lintang tujuanku mulai berwarna Ingin sekali ku bersua Mengiringi langkah angin  Inikah yang dinamakan jiwa kebangkitan ku. 

Manisnya Dipandang sebelah mata

Setiap orang tentu mempunyai impian yang sangat besar. Bisa hidup enak, punya rumah sendiri, kuliah di luar negeri dengan beasiswa, naik jabatan, sekolah di SMA favorite, mendapat juara di tingkat provinsi. Namun, ketika seseorang ingin mencapai tujuan itu. Ia harus melalui proses dan liku-likunya. Ada berbagai rintangan yamg harus dilakukan untuk mencapai hal itu. Ketika percaya diri dan keyakinan meningkat. Seseorang pasti di uji seperti cemoohan keinginan, remehan dari lingkungan sekitar bahkan cacian. Pujian menghilang seketika. " Beneran kamu akan mendaftar dokter? Kamu tak cocok? Nilaimu saja segitu!" "ini karyamu? Biar aku saja yang membuatnya." Bahkan orang terdekat denganmu pun bisa memandang sebelah mata. Terkadang ada rasa sakit ketika diremehkan. Wajar seperti itukah. Tetapi jangan membuat hal itu berlarut berfikir jelek terhadap diri sendiri. "Gimana tesnya lolos? Sudah tahap ke berapa?" Dan ketika kamu menjawab tidak lolos. Seketika re...