Ketika siang berganti malam, mentari tak memberikan pantulan emasnya. Kala itu aku berjalan di sudut jalan kecil rumahku. Ia aku selalu melihatnya ketika dunia berisikan kehitaman. Ketika kecil aku menyukai berjalan sambil mendongakan kepala ke atas mencoba melihat bulan yang selalu mengikuti tapak kaki mungil ini. Ketika aku berlari lebih cepat rembulan masih mengikuti tepat beberapa meter di kepalaku. Sialnya aku benci seseorang yang mengikutiku. Entah ke kanan, kiri, juga tatasurya seperti mengikuti jejak langkah kaki. Ketika aku berhenti melangkah bulanpun lagi-lagi menirukanku tapi perbedaannya ia tak menatapku.
Sungguh ketika kecil lambat laun aku mengerti kenapa langit tak pernah bisa kugapai. Padahal ia di dekat sawah rumahku. Semakin aku berjalan lebih jauh langit pun terasa lebih jauh. Ah, aku bukanlah anak kecil yang mudah menyerah. Aku berlari-larian bersama beberapa anak seusiaku memburu langit karena aku ingin menyentuhnya alasan yang sangat klasik. Begitupun juga dengan mereka.
Sialnya, kami para pemburu langit sama sekali tak dapat menggapainya. Kami merasa kecewa seketika itu aku dan mereka tidak memburu langit esoknya karena kami beranggapan langit bukanlah di ujung sawah melainkan terletak di ujung atas sangat jauh.
Aku tak menyadari seseorang menegurku. Aku menatapnya kembali dengan wajah datar. Juga susu yang terseduh sudah dingin. Aku kembali ke dunia nyataku. Bersama orang-orang yang berada di sekitarku. Terimakasih kawan selalu setia menemaniku sepanjang waktu ini dan baru-baru ini. Teman lama maupun baru. Karena melihat waktu yang lalu seperti mencari memori lama yang masih tersimpan rapi dalam komponen otakku.
Cikarang, 13 November 2016
Komentar
Posting Komentar